Rabu, 07 Januari 2015

kebudayaan gotong royong di Indonesia

Gotong royong adalah salah satu budaya bangsa yang membuat Indonesia, dipuji oleh bangsa lain karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antar sesama manusia.Ini juga merupakan salah satu faktor yang membuat Indonesia bisa bersatu dari Sabang hingga Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit.
Ciri khas bangsa Indonesia salah staunya adalah gotong royong, kita mengetahui bahwa modernisasi dan globalisasi melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks, hal ini seharusnya jangan sampai membuat bangsa Indonesia kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa yang kaya akan unsur budaya. Akan tetapi dengan semakin derasnya arus globalisasi mau tidak mau kepribadian tersebut akan terpengaruh oleh kebudayaan asaing yang lebih mementingkan individualisme.Sesungguhnya budaya gotong-royong merupakan kekuatan besar budaya masyarakat yang perlu dikembangkan terus di negeri ini”.
aum pria sibuk mengaduk semen dan pasir, menyiapkan batu bata, kayu dan paku-paku.Ada juga beberapa pria yang membersihkan lahan. Sebelum dibersihkan, lahan itu diratakan dulu. Kaum wanita, ibu-ibu, menyiapkan makanan, kopi dan teh. Semua sibuk mengambil bagian dalam pekerjaan itu di daerah perbukitan suatu kampung bernama Kampung Bukit, di kawasan Rumbai, tidak jauh jauh dari kota Pekanbaru. Tidak ada orang yang ngobrol atau pun berlagak seperti bos yang pekerjaannya hanya memerintah. Semua orang yang hadir ambil bagian dalam pekerjaan itu. Setiap individu mungkin merasa risih bila tidak turut berpartisipasi. Mereka semua memiliki perasaan ingin melayani, dan ingin meringankan beban sesama warga. Mereka bersama-sama mendirikan rumah bagi seorang warga di desa mereka. Budaya gotong-royong sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kisah itu adalah gambaran kehidupan warga Indonesia puluhan tahun lalu di suatu kawasan bernama Rumbai di pulau Sumatera. Masa kini tersedia beragam wadah organisasi/ lembaga formal unuk kegiatan sosial dan pengembangan masyarakat. Wadah itu dapat dioptimalkan untuk menjalankan dan memperkuat kembali budaya gotong-royong. Ada Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), ada pula Yayasan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Koperasi.
Lembaga yayasan adalah badan hukum yang ditujukan untuk melakukan berbagai kegiatan di bidang kemanusiaan, sosial, budaya, agama dan kemasyarakatan. Dalam lembaga yayasan tercermin keinginan pemerintah untuk memberikan peluang sebesar-besarnya bagi warga berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan kegiatan pelayanan, pendidikan dan pengembangan dalam rangka pembangunan masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.
Bila Anda bersama teman-teman mendirikan yayasan, sebaiknya fokuskan diri pada misi pelayanan, disertai dengan semangat gotong-royong, agar yayasan itu bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan penerapan semangat gotong- royong, Anda sekaligus mendidik warga masyarakat agar menumbuhkan kembali budaya gotong- royong yang sudah mulai terkikis habis oleh perkembangan zaman. Penggunaan yayasan hanya sebagai simbol atau tampilan agar kelihatan menarik di mata masyarakat atau mencari popularitas dengan beragam kegiatan heboh yang menghambur-hamburkan dana yayasan, sangatlah tidak tepat. Yayasan mestinya bukanlah sarana untuk kumpul-kumpul, ngerumpi atau pesta makan bersama. Tetapi, yayasan adalah wadah untuk melayani… wadah untuk berbuat bagi masyarakat.  Yang menjadi ukuran dalam pengembangan yayasan adalah seberapa besar perannya dalam melayani, menolong, mendidik dan mengembangkan masyarakat.
Sangat ironis bila sekelompok orang mendirikan yayasan dengan tujuan dan misi mulia, kemudian yayasan menerima sumbangan dalam jumlah besar dari berbagai pihak, tetapi dana yayasan hanya digunakan untuk makan bersama, pesta, tour dan berbagai kegiatan konsumtif lainnya, sedangkan ketika ada warga atau kelompok masyarakat membutuhkan pertolongan, yayasan tidak dapat berbuat apapun karena dana yayasan sudah dihabiskan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan dan misi yayasan. Walaupun suatu yayasan hanya memiliki dana sedikit, tetapi dana itu digunakan dengan optimal untuk kepentingan pelayanan masyarakat, maka yayasan telah berjalan pada jalur yang tepat.
Bagaimanakah sikap kita sebagai anggota pengurus suatu yayasan? Apakah cukup memberi uang untuk yayasan, lalu membiarkan yayasan berjalan begitu saja diurus oleh teman-teman lainnya? Sebagai anggota pengurus suatu yayasan sebaiknya kita menanamkan prinsip melayani, prinsip gotong- royong di dalam diri kita masing-masing. Yayasan dapat diarahkan agar mampu melihat kebutuhan masyarakat dan melayani serta mengembangkan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Kita bisa mengembangkan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih cerdas (smart community).
Budaya gotong- royong tidak berarti harus selalu melakukan hal-hal besar bagi masyarakat. Dengan melakukan kegiatan sederhana pun, seperti membagikan pakaian bekas kepada masyarakat yang membutuhkan, melakukan pembersihan lingkungan, mendorong terciptanya kerjasama antar warga dan menanam pohon, yayasan telah melakukan pelayanan yang baik bagi masyarakat.
Sikap melayani itu tidak hanya kepada masyarakat umum, tetapi juga antar sesama pengurus yayasan. Kita tidak harus menjabat posisi ketua dalam suatu yayasan agar dapat turut melayani, walaupun sebagai anggota pengurus biasa, kita dapat menunjukkan sikap gotonroyong dengan berpartisipasi menyampaikan ide, berkomentar dalam diskusi bersama, menyampaikan kritik bila terjadi penyimpangan dalam kegiatan yayasan, menolong teman yang sedang sibuk dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh yayasan, dan membantu meringankan beban teman yang sedang melakukan hal-hal sederhana lainnya untuk yayasan. Ciptakan dan kembangkanlah budaya gotong- royong dalam organisasi atau yayasan yang sedang Anda bangun bersama teman-teman
Masyarakat Desa Penjaga Terakhir Semangat Gotong Royong Pancasila
Dalam Pidatonya, Ir. Soekarno yang lebih kita kenal dengan panggilan Bung Karno, menyampaikan bahwa dasar Indonesia merdeka adalah  (1) kebangsaan, (2) internasionalisme, (3) mufakat, (4) kesejahteraan, dan (5) ketuhanan. Dan lima bilangan tersebut dinamakan Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah Indonesia berdiri menjadi Negara yang kekal dan abadi.
Pancasila adalah Gotong Royong
Bung Karno menyampaikan, lima sila boleh diperas sehingga tinggal 3 saja, yaitu (1) Sosio-nasionalisme, (2) Sosio-demokrasi, dan (3) Ketuhanan. Dan jika diperas yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan, Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”.
Membangun Peradaban Bangsa
Membangun peradaban sebuah bangsa harus dilakukan  dengan membangun budi pekerti   serta membangkitkan semangat kebersamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh para agamawan dan tokoh-tokoh generasi pendiri NKRI. Menurut Bung Karno, Indonesia bila ingin kembali berjaya seperti Sriwijaya dan Majapahit  tidak bisa hanya dilakukan oleh satu golongan saja, tetapi harus dilakukan secara bersama oleh semua komponen bangsa dengan melibatkan  masyarakat.
Nilai-nilai dasar Pancasila sangat penting untuk selalu dimaknai kembali, karena generasi di masa mendatang belum tentu bisa menghayati Pancasila sebagai perekat dasar yang mempersatukan Indonesia.
Gotong Royong yang sudah Terpinggirkan
Indonesia merdeka karena adanya semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu. Setelah reformasi semangat tersebut seperti agak ditinggalkan. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partsipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Di beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa. Kehadiran dalam sebuah kebersamaan pun terkadang diwakili dengan uang. Tidak hadir ronda cukup bayar denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup titip uang iuran. Tidak ikut kerja bakti cukup memberi sumbangan.
Program pemerintah dengan bantuan beras miskin (raskin) yang  kurang tepat sasaran dan dilaksanakan tanpa sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan telah menjadikan alasan beberapa kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan raskin, sedang mereka merasa miskin, akhirnya tidak mau lagi ikut kerja bakti. ”Mereka yang dapat raskin aja yang suruh kerja bakti,” katanya.
Dalam banyak peristiwa terorisme akhir-akhir ini salah satu penyebab tidak berjalannya pengawasan masyarakat adalah sudah mulai lunturnya semangat gorong royong. Dengan kurangnya semangat gotong royong, maka masyarakat menjadi tidak peka terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Gotong royong adalah pola pertahanan terbaik dalam masyarakat, gotong royong mampu menjadi alat komunikasi yang efektif.
Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat desa. Semoga desa mampu menjadi penjaga pilar kejayaan Pancasila dengan tetep menjaga semangat kegotongroyongan di dalam kehidupan bermasyarakatn

M. Nasroen(1907-1968) Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dalam bukunya Falsafah Indonesia, mengatakan bahwa gotong royong adalah dasar Falsafah Indonesia. Dengan kata lain bahwa gotong royonglah yang menjadi ciri utama manusia Indonesia pada umumnya. Dari ribuan tahun silam Indonesia telah menciptkan konsep ini. Kita bisa melihat di ritual-ritual keagamaan disana yang masih Animisme dan Dinamisme. Dalam setiap upacara keagamaan para masyarakat berbaur menjadi satu untuk bekerjasama membangun suatu tempat sumber peribadatan, ada juga saat upacara kelahiran dan kematian yang semua warga berkumpul untuk mengerjakan apa yang perlu mereka kerjakan tanpa imbalan apapun. Dalam hal indonesia sebagai negara maritim, kita bisa lihat para warga bekerja sama dalam membangun kapal-kapal, dan di pikul besama pula dalam melayarkannya kelautan lepas.
Masuknya Agama Hindu Budha dan Islam, tak serta merta membuat tradisi ini lenyap begitu saja. Banyak acara-acara keagamaan yang malah disesuaikan dengan sikap kekeluargaan ini. Misalnya dalam acara tahlilan dan yasinan-yang merupakan akulturasi-semua warga berkumpul jadi satu untuk melaksakan ritual doa bersama yang secara langsung dapat menimbulkan keterikatan batin diantara mereka, hingga memunculkan sikap “ringan sama jinjing berat sama dipikul”. Masih banyak contoh-contoh yang harmonis jika kita menghayati betul. Ada acara gugur gunung sampai seperti acara sambatan dalam masyarakat jawa yang biasanya dalam membangun rumah diundanglah seluruh warga masyarakat dan mereka saling bahu membahu membangun rumah tanpa adanya balas budi berupa uang, Contoh real yakni saat dibangunnya Masjid Agung Demak yang sejarahnya bisa kita baca sendiri. Tradisi-tradisi semacam ini masih terjaga rapi biasanya di daerah pedesaan.
Maka konsep ini pula yang dipilih oleh para penggerak bangsa untuk mempersatukan Indonesia merdeka. Salah satunya Bung Karno presiden pertama Republik Indonesia ini dalam gagasannya tentang Pancasila terisnspirasi dari konsep gotong-royong.  Dalam bagian lain, menurut Soekarno dapat saja Pancasila itu diperas hingga menjadi satu dan kemudian dapat dikenal dengan sebutan Gotong Royong. Konsep gotong-royong ini merupakan konsep dinamis, bahkan lebih dinamis dari perkataan kekeluargaan. Sebab konsep gotong-royong ini menggambarkan suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan secara bersama-sama. Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-biantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua kebahagiaan semua. (Jebarus Felix, tanpa tahun)
Setelah itu banyak pemimpin-pemimpin kita yang menerapkan konsep kegotong-royongan dalam sistem birokrasi, mulai dari Presiden Suharto sampai ada kabinet yang dinamkan Gotong Royong yakni pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.  Ini membuktikan bahwa teramat pentingnya konsep kegotong-royongan ini bagi bangsa Indonesia.
Mngingat arus globalisasi yang kian lama kian merasuk dalam sendi-sendi kebudayaan, maka di butuhkanlah sikap idealisme dalam bersikap. Idealisme dalam hal ini yakni bersikap tetap berfikir susuai jati diri bangsa yakni kegotong-royongan, kekeluargaan. Kita tak bisa menahan arus globalisasi masuk, tapi kita tetap bisa menyesuaikan modernitas tersebut dengan budaya sendiri. Yang artinya kita tak boleh larut dalam euforia individualitas yang semakin marak dewasa ini. Itulah yang para tokoh bangsa ini lakukan dijaman dahulu, yakni dengan senantiasa berakulturasi bukan berlarut.
Maka dari itu kita disini bukan hanya membicarakan, mendiskusikan apa itu gotong royong, kekeluargaan yang menjadi sumber Falsafah Indonesia. Tetapi kita dituntut untuk lebih melestarikan atau melaksanakan konsep ini dalam tataran hidup bermasyarakat sampai berbangsa dan bernegara.
salam pertiwi! 

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI GOTONG ROYONG UNTUK MEWUJUDKAN BIROKRASI YANG BERLANDASKAN BUDAYA BANGSA

Budaya merupakan warisan yang tidak bisa terpisahkan dari setiap bangsa. Budaya membentuk ciri khas yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Gotong royong merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia yang mengandung banyak nilai-nilai positif di dalamnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa gotong royong menjadi dasar filsafat bangsa Indonesia. Gotong royong dikatakan sebagai hasil perasan dari Pancasila yang berati nilai-nilai dalam Pancasila juga terkandung dalam gotong royong.
Di dalam KBBI gotong royong diartikan sebagai bekerja bersama. Wikipedia mempertegas definisi gotong royong sebagai istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Saya yakin kita semua pasti sudah pernah mendengar istilah gotong royong melintas di telinga kita. Namun tak bisa dipungkiri bahwa gotong royong akhir-akhir ini mulai terkikis keberadaannya, terlebih lagi memasuki zaman modern dengan teknologi yang serba canggih saat ini. Mungkin ada pihak yang menganggap gotong royong sudah kuno, tidak cocok lagi diterapkan sekarang ini, hanya untuk masyarakat pedesaan, atau bahkan ada yang sekedar tahu namanya saja tanpa paham nilai-nilai dan filosofis yang terkandung dalam gotong royong. Lantas apa kaitan gotong royong dengan birokrasi? Dapatkah keduanya dipadukan??? Melalui tulisan ini Saya mencoba mencurahkan opini Saya mengenai impelentasi gotong royong dalam birokrasi.
Dari beberapa referensi yang sempat Saya baca, gotong royong setidaknya mengandung beberapa nilai positif yang dapat menjadi kata kunci dari istilah gotong royong, antara lain kebersamaan, kekeluargaan, keadilan, sukarela (tanpa pamrih), tanggung jawab, peran aktif masyarakat serta  persatuan dan kesatuan. Dengan nilai-nilai yang terkandung tersebut, mestinya budaya gotong royong dapat menjadi “suplemen” sekaligus “obat” untuk berbagai “penyakit” yang melanda bangsa ini, termasuk penyakit yang melanda sistem birokrasi di Indonesia. Gotong royong harus dimaknai secara luas dan mendalam, tidak hanya sebatas gotong royong membuat jembatan, mendirikan mushola, membersihkan saluran air, ataupun kegiatan-kegiatan fisik lainnya. Kita dapat berkaca kepada Jepang yang sudah mengimplementasikan budaya Sogo Fujo ke dalam sistem hukum dan undang-undang pemerintahannya secara ideologis dan dilaksanakan secara sosial. Kemudian setelah menjadi konsepsi hukkum, masuk pula dalam konsepsi manajerial, baik di dalam birokarasi maupun korporasi. Jepang sukses mengimpelentasikan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Sogo Fujo tersebut hingga membentuk sikap dan perilaku masyarakatnya yang patut dijadikan teladan. Istilah Sogo Fujo di Jepang tersebut tidak ubahnya seperti budaya gotong royong di Indonesia. Lantas, mengapa kita tidak mengimplimentasikan nilai-nilai positif dalam gotong royong untuk memperbaiki sistem birokrasi di negeri ini???
Birokrasi  dalam pengertian keseharian selalu dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Istilah birokrasi tidak terlepas dari instansi pemerintah sebagai pihak yang memberikan pelayanan publik serta masyrakat yang merupakan pihak yang mendapatkan pelayanan tersebut. Namun, fakta yang terjadi lebih sering kebalikannya. Pejabat dan aparatur negara yang semestinya memberikan layanan justru ingin dilayani dengan alasan posisi mereka yang tinggi yang justru harus diberikan layanan. Hal tersebut merupakan salah satu penyakit kronis birokrasi di Indonesia.
Penyakit birokrasi lainnya yang mewabah di negeri ini adalah faktor hierarki yang disalahgunakan sehingga pejabat atas menjadi penentu keputusan dan kebijakan yang akan diambil. Hal ini berdampak pada pelayanan yang diberikan dinilai lamban dan berbelit-belit oleh masyarakat. Belum lagi persyaratan-persyaratan bahkan “pungutan liar” yang mesti diberikan pada setiap tahapan level hierarki yang semakin menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik.
Gotong royong sebenarnya dapat menjadi obat yang mujarab bagi penyakit birokrasi yang melanda bangsa ini. Obat yang tidak hanya menyembuhkan penyakit luar yang tampak secara kasat mata tetapi penyakit dalam sekalipun. Dalam konteks reformasi birokrasi, konsep ini pun sejalan. Reformasi birokrasi diharapkan tidak hanya sebatas perubahan pada proses dan prosedur birokrasi (penyembuhan penyakit luar birokrasi) saja, tetapi juga perubahan pada sikap dan perilaku para pelaku brirokrasi (penyembuhan penyakit dalam birokrasi). Pada akhirnya reformasi birokrasi diharapkan mampu meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat pun menjadi lebih baik.
Impelementasi nilai-nilai gotong royong dalam mewujudkan sistem birokrasi yang ideal bagi bangsa ini dapat dipadukan dengan konsep manajemen yang mencakup 4 (empat) tahapan manajerial sehingga sistem birokrasi yang akan diwujudkan lebih sistematis. Konsep POAC yang sudah tidak asing lagi dalam manajemen yang akan dipadukan dengan nilai-nilai gotong royong dapat dirinci sebagai berikut :
1)      Planning (Perencanaan) Sistem Birokrasi
Perencanaan sistem birokrasi yang akan dilaksanakan merupakan langkah awal yang sangat berpengaruh terhadap tahapan manajerial selanjutnya. Pemerintah dan masyarakat dapat bergotong royong membuat perencanaan sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Nilai kebersamaan, keadilan, dan peran serta aktif dari masyarakat dibutuhkan pada tahapan ini.
Pemerintah (melalui instansi dan aparatur pemerintahan) harus duduk bersama dengan masyarakat yang menunjukkan rasa kebersamaan, meskipun statusnya ada yang menjadi pihak yang memberikan pelayanan dan ada yang menerima pelayanan. Pemerintah dan masyarakat berembuk untuk menyusun konsep dan mekanisme birokrasi yang diinginkan yang memberikan rasa keadilan bagi semua pihak sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Dalam tahapan ini peran serta aktif dari masyarakat sangat dibutuhkan agar pemerintah mendapatkan masukan-masukan yang berguna dalam perencanaan sistem birokrasi. Masyarakat harus jeli dan kritis namun tetap mematuhi norma dan etika yang patut dalam menyampaikan aspirasinya terkait perencanaan sistem birokrasi ini kepada pihak pemerintah.
2)      Organizing (Pengorganisasian) Sistem Birokrasi
Nilai sukarela dan dan tanggung jawab yang terkandung dalam budaya gotong royong dapat diperankan dalam tahapan ini. Para pejabat dan aparatur pemerintah yang menempati posisi stragetis (hierarki) dalam pengambilan keputusan dan kebijakan harus menanamkan nilai sukarela dan tanggung jawab dalam hati sanubari mereka.
Sukarela dalam birokrasi dapat diartikan bahwa aparatur pemerintah dalam sistem birokrasi bekerja tanpa pamrih, bersifat netral dan tidak terlibat intrik politik untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Apa yang dilakukan semata-mata sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat guna memberikan pelayanan yang prima. Tanggung jawab akan membuat aparatur pemerintah bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas pelayanannya kepada publik dan menghindarkan diri dari sikap semena-mena terhadap masyarakat.
3)      Actuating (Pelaksanaan) Sistem Birokrasi
Tahapan ini merupakan inti dari birokrasi. Pada tahap pelaksanaan ini juga rawan muncul permasalahan dan benturan berbagai kepentingan. Hampir semua nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong dapat diimplementasikan dalam tahapan pelaksanaan sistem birokrasi.
Aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat dilandasi dengan rasa kebersamaan, kekeluargaan, tanpa pamrih dan tanggung jawab. Masyarakat juga harus berperan aktif masyarakat serta berusaha menjaga  persatuan dan kesatuan dalam memanfaatkan layanan yang diberikan.
Rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang dimiliki oleh aparatur pemerintah dan masyarakat akan menghilangkan gap yang seringkali terjadi antara para pejabat dan aparatur pemerintah dengan masyarakat. Aparatur pemerintah selayaknya dihormati dan disegani oleh masyarakat tapi bukan ditakuti serta dicacimaki. Rasa hormat dan segan dari masyarakat muncul setelah diberikan layanan yang prima.
Sikap yang dilandasi nilai tanpa pamrih dan tanggung jawab akan membuat segala susuatu yang dikerjakan terasa ringan, tidak bergantung atau berhutang kepada pihak-pihak tertentu dan akan mendapatkan kepuasan tersendiri. Masyarakat sebagai penerima layanan akan dapat membedakan mana aparatur pemerintah yang bersikap tanpa pamrih dan bertanggung jawab serta mana yang bersifat pamrih dan tidak bertanggung jawab.
Semangat gotong royong dalam pelaksanaan sistem birokrasi harus dimilki oleh kedua belah pihak yang terlibat, yakni pemerintah dan masyarakat. Itikad baik dari pemerintah tidak akan terasa manfaatnya tanpa dukungan penuh dari masyarakat. Sebaliknya, keluh kesah masyarakat terhadap pelayanan publik yang diberikan pemerintah tidak akan dapat didengar dan diperbaiki jika pemerintah menutup mata dan telinga serta enggan mengulurkan tangan untuk bekerja bersama masyarakat.
4)      Controlling (Pengawasan) Sistem Birokrasi
Pengawasan diperlukan agar diketahui apa saja yang menjadi kekurangan dari sistem yang berjalan. Peran aktif dari masyarakat diperlukan agar didapat hasil pengawasan yang objektif. Rasa persatuan dan kesatuan yang ada dalam setiap pribadi aparatur pemerintah dan masyarakat akan menimbulkan sikap legowo bagi aparatur pemerintah dalam menerima hasil pengawasan dalam sistem birokrasi yang dilakukan oleh masyarakat, terlepas apakah hasil pengawasan tersebut bernilai positif atau negatif. Masyarakat pun akan lebih objektif dalam memberikan hasil pengawasannya, tidak termakan oleh praktik politik praktis, dan menyampaikannya dengan cara yang wajar, santun serta tidak terbawa emosi.
Pengawasan bukanlah berarti saling memata-matai dan mencari kesalahan masing-masing. Justru dengan adanya pengawasan maka akan terbentuk sikap saling mengingatkan saat ada pihak yang melakukan kesalahan dan harus diperbaiki. Hasil pengawasan dalam sistem birokrasi dapat menjadi bahan evaluasi yang dapat digunakan untuk menyusun perencanaan sistem birokrasi selanjutnya yang lebih baik dari sistem birokrasi sebelumnya.
Untuk memfasilitasi fungsi pengawasan sistem birokrasi ini pemerintah dan masyarakat dapat memainkan peran masing-masing. Di setiap instansi pemerintah harus dioptimalkan fungsi pengawasan internal yang ada serta menyediakan layanan pengaduan dari masyarakat terhadap ketidakpuasan atas layanan yang diberikan. Dengan demikian keluh kesah dari masyarakat dapat didengar dan tersampaikan melalui jalur yang tepat. Bagi masyarakat, bentuk peran serta pengawasan sistem birokrasi yang dapat dilakukan berupa memberikan penilaian yang objektif terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Jika fungsi pengawasan sistem birokrasi tersebut terasa berat dilakukan oleh individu masyarakat, maka masyarakat dapat membentuk lembaga independen yang berfungsi melakukan pengawasan sistem birokrasi yang berjalan. Namun dengan catatan pembentukan lembaga independen ini tanpa ada “titipan politik” yang mempunyai tujuan lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong harus tetap menjadi pegangan. Sesama masyarakat bersatu untuk melakukan pengawasan sistem birokrasi, sedangkan masyarakat dan pemerintah bersatu agar dapat saling mengingatkan. Pemerintah bertanggung jawab terhadap amanah yang dititipkan oleh masyarakat dan masyarakat pun harus memberikan dukungan dan kepercayaan kepada aparatur pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Memang tidak mudah untuk melakukan reformasi (perubahan) terhadap sistem birokrasi di Indonesia untuk menjadi lebih baik. Diperlukan usaha yang lebih untuk dapat mengimplementasikan nilai-nilai budaya gotong royong untuk mewujudkan birokrasi yang berlandaskan budaya bangsa di negeri ini. Konsekuensi lainnya adalah harus berani menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan oleh para aparatur pemerintah dalam sistem birokrasi yang sudah “membudaya”. Dalam lingkungan masyarakatpun harus dilakukan perbaikan-perbaikan. Aspirasi masyarakat disampaikan dengan cara yang benar dan melalui jalur yang tepat. Namun  dengan semangat kebersamaan, kekeluargaan, keadilan, sukarela (tanpa pamrih), tanggung jawab, peran aktif masyarakat serta  persatuan dan kesatuan Insya Allah budaya gotong royong dapat diimplementasikan dalam memperbaiki sistem birokrasi bangsa ini. Mari kita bergotong royong untuk mengimplementasikan nilai-nilai gotong royong untuk mewujudkan birokrasi yang lebih baik di Indonesia !





http://nardi125.wordpress.com/about/budaya-gotong-royong/
 http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/09/gotong-royong-ciri-khas-budaya-bangsa-609110.html
https://hasaninurul.wordpress.com/2013/04/13/implementasi-nilai-nilai-gotong-royong-untuk-mewujudkan-birokrasi-yang-berlandaskan-budaya-bangsa/

kebudayaan kristen di Indonesia

SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP KEBUDAYAAN 

I. Definisi Budaya.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
II. Pengertian Kebudayaan.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memPengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
III. Ciri-ciri Kebudayaan.
Ciri-ciri khas kebudayaan adalah:
A.    Bersifat historis. Manusia membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang diwariskan secara turun temurun;
B.     Bersifat geografis. Kebudayaan manusia tidak selalu berjalan seragam, ada yang berkembang pesat dan ada yang lamban, dan ada pula yang mandeg (stagnan) yang nyaris berhenti kemajuannya. Dalam interaksi dengan lingkungan, kebudayaan kemudian berkembang pada komunitas tertentu, dan lalu meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras. Kemudian kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regiona, dan makin meluas dengan belahan-bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi) dalam era informasi dimana terjadi saling melebur dan berinteraksinya kebudayaan-kebudayaan;
C.     Bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu. Dalam perjalanan kebudayaan, manusia selalu berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Di sinilah manusia terbentur pada nilai, nilai yang mana, dan seberapa jauh nilai itu bisa dikembangkan? Sampai batas mana?
IV. Hubungan Antara Gereja dan Kebudayaan.
Dalam sejarah gereja, hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung cuma dalam satu model melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauhmana kita memahami apa itu gereja dan apa itu budaya.
Menurut H.Richard Niebuhr, jika kita mencermati sejarah gereja (khususnya di Eropa dan Amerika sampai pasca perang dunia kedua) maka ada sejumlah model/pola hubungan gereja dan budaya yang bertolak dari bagaimana memahami hubungan gereja/Kristus dan keabudayaan,  sebagai berikut  :
a. Kristus bertentangan dengan kebudayaan (Christ against Culture).
Dalam sikap ini orang kristen menentang kebudayaan, gereja tidak mau tahu terhadap kebudayaan, sebab kebudayaan dianggap hanya membawa pengaruh negatif bagi kekristenan dan gereja.
b. Kristus dari kebudayaan (Christ of Culture).
Sikap ini berkeyakinan bahwa Kristuslah yang memiliki kebudayaan. Oleh karena itu orang beriman harus berusaha menyesuaikan diri (toleran) dengan kebudayaan.
c. Kristus di atas kebudayaan (Christ above Culture).
Dalam pemahaman seperti ini, Kristus dipandang sebagai yang menggenapi/menyempurnakan kebudayaan. Namun Ia berbeda sama sekali dengan kebudayaan. Karena itu orang kristen, gereja harus menghargai kebudayaan.
d. Kristus dan kebudayaan dalam paradoks (Christ and Culture in paradox).
Sikap ini berkeyakinan bahwa orang kristen, gereja hidup dalam dua “dunia” yang berbeda secara asasi tetapi tidak dapat dipisahkan. Pada satu pihak orang kristen, gereja hidup dalam Kerajaan Allah, namun pada pihak lain ia hidup dalam “kebudayaan” masyarakat di mana dia ada.
e. Kristus pembaharu kebudayaan (Christ transforming Culture).
Apa yang dikemukakan Niebuhr di atas dalam tempo yang lama (bahkan sampai saat ini) masih berpengaruh ketika berbicara tentang hubungan gereja dan kebudayaan, walaupun untuk kepentingan masakini mesti dikritisi dengan bijak sebab konteks telah berubah dan perkembangan pemikiran-pemikiran teologis juga terus terjadi dan berkembang.
V. Sikap Iman Kristen Terhadap Kebudayaan.
Ada 5 macam sikap umat Kristien terhadap kebudayaan, yakni:
1.Antagonistis atau oposisi
Sikap antagonistis atau oposisi terhadap kebudayaan ialah sikap yang melihat pertentangan yang tidak terdamaikan antara agama Kristen dan kebudayaan.Sebab akibatnya, sikap ini menolak dan menyingkirkan kebudayaan pada semua ungkapannya. Gereja dan umat beriman memang harus berkata tidak atau menolak ungkapan kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang ; 1. MenghinaTuhan 2. Menyembah berhala dan 3. Yang merusak kemanusiaan.
2. Akomodasi atau persetujuan
Kebalikan dari sikap antagonis adalah mengakomodasi, menyetujui atau menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Terjadilah sinkritisme. Salah satu sikap demikian ditujukan untuk membawa orang pada cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga seolah-olah semua agama sama saja.
3. Dominasi atau sintesis
Dalam gereja yang mendasari ajarannya pada teologi Thomas Aquinas. Ia menganggap bahwa sekalipun kejatuhan manusia kedalam dosa telah membuatcitra ilahinya merosot pada dasarnya manusia tidak jatuh total, manusia masihmemiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya didalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bias melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu sebagai bagian imam, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi anugrah Ilahi.
4. Dualisme atau pengutuban
            Yang dimaksud dengan sikap dualistis atau pengutuban terhadap kebudayaan ialah pendirian yang hendak memisahakan iman dari kebudayaan ialah ; terdapatpada kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada karya Allah kepada TuhanYesus Kristus, namun manusia tetap berdiri didalam kebudayaan kafir. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia berdosa menjadi manusia yang hidup didalam iman tidak lagi berarti menghadapi kebudayaan.
5.Pengudusan atau pertobatan
Sikap pengudusan adalah sikap yang tidak menolak, namun tidak juga menerima, tetapi sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia kedalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia dapat menerima kebudayaan selama hasil hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau keempat sikap budaya yang salah satu itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu, sehingga terjadi transformasi budaya kearah budaya yang, memuliakan Allah.
IV. Refleksi: Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak Dalam Upaya Memperbaharui dan Melestarikan Kebudayaan Batak  Dalam Terang Firman Allah.
Kebudayaan adalah prestasi atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam alam ini. Kemampuan untuk berprestasi/berkarya ini merupakan sikap hakiki yang hanya ada pada manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu sejak penciptaan, manusia telah diberi amanat kebudayaan (Kej 1:26-30)
Namun kejatuhan manusia dalam dosa telah menyebabkan manusia hanya mampu menghasilkan kebudayaan yang menyimpang dari rencana Allah dan hanya demi kemuliaan diri manusia sendiri (dari God-centered menjadi man-centered)
Manusia lalu berusaha untuk mengisi keadaan kosong dalam hatinya dengan kebudayaan (agama, ilmu dan teknologi, seks, hiburan, harta, kesalehan, kedudukan tinggi, dll.) Namun kebudayaan manusia tidak akan pernah dapat memulihkan keadaan manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Pemulihan keadaan manusia dan kebudayaannya terjadi ketika Anak Allah yang Tunggal turun ke dalam dunia untuk menebus dosa manusia.
Awal kedatangan Injil Ke Tanah (Jiwa) Batak
Begitu lama suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaris dari Eropah untuk memperkenalkan Injil kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup.Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada kehidupan yang kekal.Injil telah dating dan merasuk ke Tanah Batak!
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan. Raja dan .Juruslamat tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo matang” menjadi “putih” (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari “Batak” menjadi “Jerman”. Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaris itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Jurusiamat. Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu. kita yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status sosial tertentu yang mutlak menjamin kita lebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.
Firman telah menjadi manusia sama seperti kita dan tinggal diantara kita (Yoh 1 :14). ltu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk lndonesia dan modernitas) kita Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya – jaman dahulu – tortor dan gondang adalah merupakan ritual atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen ( sekaligus batak- Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor dan Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu, namun dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan  Roh kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa bangsa eropah yang belum mengenal Kristus namun diberi isi yang baru, yaitu perayaan kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur paskah, santa claus dll.
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus  pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan “boleh” namun sebagian lagi mengatakan “tidak”. Rasul paulus memberi nasihat yang sangat bijak. *Makanan tidak mendekatkan atau Menjauhkan kita dari Tuhan. (l Kor 8:1-11). Keadaan Yang mirip juga  terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh memakan segalanya. (1 kor 14:15) Rasul Paulus memberi nasihat “Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (l Kor14:17). Kita boleh menarik analogi dari ayat-ayat ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos.  Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh kudus.  Selanjutnya kita sadar bahwa  kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan, Tenunan ulos batak, dengan batik jawa atau brokat prancis sama saja nilainya dihadapan Kristus. Taganing (gondang, atau gondrang), orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. Keduanya dapat dipakai untuk memuliakan Allah.
Persoalan sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan iman Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki memperbaiki realitas social, konomi, politik dan budaya yang ada. Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos dll) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya itu. Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor. gondang dan ulos dll) kita tidak bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen, kita hanya tunduk secara absolute kepada Kristus dan bukan kepada budaya.  Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya.  Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya batak itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus dipertahankan (dilestarikan)  dan mana yang harus di ubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, dan yang tidak relevan dengan kekristenan?
Kita mengakui dengan jujur bahwa sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak. dan manusia). menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama kita.Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai reflector atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen, gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan syukur atau permohonan kita kepada Allah bapa tanpa perantara atau reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan, tortor dan gondang sangat terikat kepada aturan-aturan pra-Kristen yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga dihadapan Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak bernoda (1 pet 1:19).
BEBERAPA CONTOH KEBUDAYAAN DUNIAWI


Ada 2 macam kebudayaan duniawi:
a. Yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
b. Yang berkaitan dengan kehidupan beragama

a. Kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari

1. Teknologi
Dampak negatif dari kebudayaan teknologi adalah:
- manusia semakin kebal dan tidak peka terhadap kesadaran/ rasa ketergantungan terhadap Allah
- manusia semakin terpisah dalam hubungan Allah dan sesamanya

2. Materialistis
Kebudayaan telah membawa manusia kepada kemajuan dan hasrat untuk semakin menikmati hidup secara lahiriah. Manusia menjadi kapitalis, egois, dan sinis terhadap masalah rohani. Manusia tidak segan untuk melakukan manipulasi untuk kepentingan dan dan kenikmatan diri. Pengharggan kepada uang, harta dan kekayaan lebih daripada menghargai dan menghormati martabat manusia.

b. Kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan beragama

1. Pandangan hidup
Keyakinan seorqang dalam agamanya pasti akan mempengaruhi pandangan hidupnya. Sikap, tujuan, dan sistem nilai dalam kehidupan seseorang senantiasa dipengaruhi pandangan hidupnya. Kenyataan in merupakan tantangan yang cukup berat dalam memberitakan Injil. Sebab hampit tidak mungkin manusia meningglkan pandangan hidup nya yang bertahun-tahun sudah dihayatinya (Koentjaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia). Karena itu kedatangan Injil dianggap sebagai ancaman serius dalam hidupnya. Kesulitan ini hanya dapat ditembus oleh kuasa Roh Kudus yang sanggup memulihkan pandangan hidup manusia sesuai dengan iman yang dianugerahkan ALlah dalam Yesus Kristus. Jika tidak demikian, akan selalu ada kecenderungan manusia untuk berpaham sinkretisme setiap ajaran.agama baru.

Dalam upaya mendekatkan Injil kepada manusia dan mempersiapkan atau menjembatani manusia untuk menerima pelayanan Injil yang dikerjakan oleh Roh Kudus, lahirlah : Kontekstualisasi dan Inkulturisasi (memakai kebudayaan untuk ber-PI).

2. Pola Hidup
Pola hidup manusia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dimana dia hidup. Hal ini dilakukan secara turun-temurun sehingga lahirlah adat-istiadat. Pada umumnya adat-istiadat ini dijiwai dan berhubungan erat dengan agama yang dianut masyarakat. Keadaan ini juga merupakan hambatan yang cukup besar dalam
pelayanan Injil. Sebab sekali lagi Injill dianggap sebagai ancaman untuk mengubah pola hidup yang telah dimiliki selama ini. Adanya kecenderungan untuk memadukan adat dan Injil seharusnya diperhatikan dalam setiap pelayanan bagi mereka yang baru bertobat.
BEDA INJIL DAN KEBUDAYAAN

1. Injil, pertama-tama bukanlah hasil kebudayaan. Injil bukanlah karya manusia melainkan ALlah. Tetapi demi memulihkan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, maka Injil harus 'inkarnasi' dalam kebudayaan manusia. Injil telah 'lahir' di tengah kebudayaan bangsa Yahudi walau hal ini tidak berarti bahwa Injil juga merupakan kebudayaan. Injil justru bersifat menyucikan kebudayaan manusia. Karena itu dalam pemberitaan Injil, harus memilah mana yang merupakan berita (supra-natural dan supra-kultural) dan mana yang merupakan 'pakaian kebudayaan' Injil. Dengan demikian Injil dapat diterima dalam semua kebudayaan yang ada di antara segenap uamt manusia di dalam dunia.

2. Kebudayaan merupakan upaya manusia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, bermoral, nikmat, puas, dan bahagia. Tetapi Injil menolong manusia menjadi manusia baru dalam Tuhan. Dengan demikian, Injil melampaui kebudayaan. Sebab oleh Injil, manusia memiliki kehidupan yang sesungguhnya, berharga, bersifat pasti, penuh pengharapan, dan memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan rencana ALlah. Oleh Injil Kristus manusia mendapatkan kehidupan yang kekal dan kekudusan yang sempurna (Kehidupan Zakheus, Matius,
Nikodemus, dll).

3. Kebudayaan memisahkan manusia dari sesamanya dan manusia dari Allahnya. Sebaliknya Injil mempersatukan kembali manusia dengan Allah dan sesamanya. (Ef 2:13-18).

4. Kebudayaan menjadikan manusia menghadapi sesamanya secara tidak manusiawi. Kecenderungan manusia menghargai sesamanya ditentukan oleh status sosialnya, pekerjaannya, relasi-interaksi yang terjadi
(manusia modul -- Aflin Tofler: The Future Shock). Sedangkan Injil memberikan penglihatan yang baru, sehingga setiap umat tebusan Kristus memandang sesamanya manusia sebagai manusia seutuhnya dan bukan manusia modul. Manusia menurut Injil adalah umat yang berharga dan dikasihi Allah. Untuk manusialah, Tuhan Yesus telah merelakan nyawaNya. Apapun status sosial dan jabatannya, oleh Injil kita memandang setiap manusia sebagai dia yang membutuhkan Injil keselamatan.

KEKRISTENAN DI TENGAH KEBUDAYAAN

Sangatlah menarik apabila kita menyimak kesaksian Alkitab perihal kehadiran kekristenan di tengah kebudayaan manusia. Di beberapa tempat seperti di:

* Antiokhia
Sebuah kota pusat perdagangan yang dihiasi dengan bangunan megah prestasi manusia modern dan keberadaan kuil-kuil untuk pemujaan dewa. Namun justru di sinilah untuk pertama kalinya pengikut Kristus disebut sebagai orang Kristen. Di antara 500.000 jiwa penduduk kota yang didiami umat kafir, sekelompok kecil umat Kristiani menunjukkan identitasnya sebagai manusia yang telah dibaharui oleh Kristus (Kis 11:26).

* Korintus
Sebuah kota yang juga pusat kegiatan perdagangan dan sekaligus kota pusat pemuasan hawa nafsu seks. Oleh kuasa Injil, dengan kehadiran Injil banyak orang percaya dan dikuduskan kehidupannya dalam Kristus Yesus. Kenyataan kebudayaan orang Korintus ini memang menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan iman jemaat.

* Athena
Kota pusat kaum terpelajar yang penuh dengan berhala. Tatkala Injil diberitakan, mendapat tantangan dari kaum intelektualnya. Namun kenyataan bahwa Injil melampaui akal budi manusia dibuktikan dengan lahirnya jemaat di Athena.

* Efesus
Kota yang terkenal dengan pemujaan kepada Dewi Artemis sehingga kehadiran Injil di sana merupakan ancaman besar bagi perkembangan kebudayaan yang dijiwai oleh agama mereka. (Kis 19, 25, 27). Berlawanan dengan Athena, Efesus menolak Injil dengan kekerasan namun hasil penginjilan di Efesus lebih besar.

Injil selalu berhadapan dengan kelompok yang bermoral rendah, yang mengejar kepuasan hawa nafsu/kenikmatan hidup, kaum intelektual, kelompok berbudaya yang dijiwai agama asali, dan fanatisme agama. Dalam pertemuan antara Injil dengan kebudayaan, maka Injil akan bersifat menempatkan kebudayaan sebagai pelayan untuk melengkapi manusia hidup memuliakan Allah. Melalui kebudayaan, manusia yang telah menerima Injil akan memancarkan hikmat Ilahi.
LIMA MACAM SIKAP GEREJA TERHADAP DUNIA DAN KEBUDAYAAN

1. Sikap Radikal : Kristus menentang kebudayaan

Sikap yang menekankan antara Krsitus dengan kebudayaan. Kristus dianggap berlawanan dengan masyarakat. Manusia harus memilih Kristus atau kebudayaan. Ia tidak dapat memilih keduanya, ia tidak
dapat mengabdi kepada dua tuan (1 Yoh 2:15, 16). Orang yang setia kepada Kristus harus menolak dunia. Sikap radikal ini disertai dengan empat masalah teologia.

a. Hubungan antara pengetahuan dan penyataan
Memuliakan penyataan/pewahyuan. Pengertian tentang Allah dan pemahaman tentang kewajiban manusia hanya dinyatakan oleh Alkitab dan gereja. Pengetahuan di luar Alkitab dan gereja dicela dan tidak diterima.

b. Pengertian tentang dosa
Dosa telah merajalela dalam kebudayaan karena itu manusia harus menjauhkan diri dari kebudayaan supaya dapat hidup kudus.

c. Hubungan antar kepatuhan kepada hukum dan karunia Allah.
Menenkankan kewajiban orang Kristen untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Kehidupan kekristenan adalah kehidupan yang mewujudkan kepatuhan penuh pada hukum Tuhan. Hal itu merupakan tanggapan terhadap kasih karunia yang telah dinyatakan Allah.

d. Kecenderungan membedakan dunia materi dan rohani
Materi dinilai senantiasa bersifat melawan Allah karena itu manusia harus mengutamakan hanya perkara rohani. Kecenderungan untuk lebih menekankan Roh Kristus dan pengertian rohani daripada Yesus yang sungguh hidup sebagai manusia sejati.

2. Sikap Akomodasi : Kristus milik kebudayaan

Melihat keselarasan antara Kristus dan kebudayaan. Kehidupan Yesus dan pengajaranNya dianggap sebagai prestasi manusia yang paling agung. Dalam Yesus cita-cita proses peradaban diwujudkan. KArenanya selain
mencintai Kristus, manusia juga mencintai kebudayaan. Penekanan utama mereka pengajaran dan keteladanan hidup Yesus. Ia lebih dilihat sebagai Pengajar Agung daripada sebagai Juruselamat dan Tuhan. Karena itu untuk menarik orang kepada Kristus, mereka menekankan persamaan antara Injil dan kebudayaan.

3. Sikap Perpaduan : Kristus di atas kebudayaan

Meyakini bahwa kebudayaan tidak sama sekali bersifat jahat dantidak sama sekalu bertentangan dengan Kristus. Menyetujui bahwa manusia dipanggil untuk mematuhi Allah dan menerima panggilan Allah untuk membangun masyarakatnya dan mengembangkan kebudayaannya. Karena itu manusia tidak harus memilih kebudayaan dan Kristus. Sekalipun Kristus berbeda dengan kebudayaan, Ia juga relevan dengan kebudayaan, terlebih Ia adalah Tuhan atas kebudayaan. Kebudayaan perlu dilihat dalam terang ilmu daniman, bersifat suci tetapi telah diwarnai dosa. Perpaduan antar unsur iman Kristen dan unsur kebudayaan adalah penting. Karena meyakini bahwa Injil melampaui kebudayaan, berarti tujuan hidup manusia tidak dapat dicapai hanya berdasarkan usaha manusia, dalam hal ini membutuhkan kasih karunia Allah.

4. Sikap Dualistis : Kristus dan kebudayaan adalah paradoks

Mengakui kewajiban untuk mentaati Kristus dan mengembangkan kebudayaan. Manusia telah berdosa kepada Allah, karena itu semua segi kebudayaan rusak dan buruk adanya. Karenanya manusia hanya dapat diampuni melalui karya Yesus. Dalam pandangan ini, manusia harus menempatkan dirinya sekaligus sebagai warga kerajaan dunia dan kerajaan Allah. Orang Kristen harus mentaati tuntutan Allah dan tuntutan masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, manusia mentaati hukum masyarakat sebaliknya dalam hidup ibadah, manusia harus mentaati hukum Allah.

5. Sikap Pembaharuan : Kristus membaharui kebudayaan

Kristus adalah Penebus yang memperbaharui kehidupan manusia dan masyarakat. Dosa manusia telah berakar dalam semua segi kehidupan manusia, setiap bagian kebudayaan telah menyimpang dari kehendak Allah dan patut dihakimi oleh Allah. Namun pengampunan Kristus bersifat sempurna dalam kehidupan manusia yang beriman kepadaNya. Allah adalah pencipta dan penebus, maka manusia yang telah dibaharui mempunya tanggung jawab untuk mengembangkan kebaikan dan kesejahteraan dalam hidup bermasyarakat. Allah senantiasa hadir dalam dunia ciptaanNya, Ia hadir dan bekerja bukan hanya pada masa yang akan
datang. Ia bekerja untuk memperbaharui kehidupan masyarakat melalui kehidupan orang Kristen yang sudah dijadikan manusia baru. Karena itulah gereja harus hidup di dalam dunia dan membaharui dunia. (Yoh 17:15-19; 20:21; Mat 6:10). ***Sumber : "Christ and Culture" oleh H Ricahrd Niebuhr***
ANGGILAN ORANG KRISTEN TERHADAP KEBUDAYAANFil 2:5
Firman Tuhan mempunyai otoritas mutlak dalam semua aspek kehidupan manusia yang meliputi kehidupan spiritual maupun kehidupan praktis sehari-hari

Mat 16:24
Tuhan Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa setiap orang yang mau mengikut Dia haruslah menyangkal dirinya, memikul salibNya setiap hari dan mengikut Yesus

1. Orang Kristen Menyangkali Diri terhadap Kebudayaan yang Melawan
Firman Allah

* Menilai kembali kebudayaan dalam terang Firman Allah dan membaharuinya
* Melayani mereka dalam kebudayaan yang berbeda tanpa memaksa mereka
untuk mengikuti kebudayaan si pelayan Injil sekalipun untuk itu kita harus meninggalkan kenyamanan, kemapanan, dan kesejahteraan hati kita
( I Kor 8:20-23).
* Melihat secara hati-hati dan memisahkan pengajaran dalam doktrin Kristen antara kebenaran yang bersifat supra kultural dan pakaian kebudayaan dalam Injil maupun pelayan Injil.
* Berusaha menemukan keharmonisan di antara prinsip kebenaran berita Injil dan kebudayaan kontekstual, tanpa mengabaikan sedikitpun kebenaran mutlak yang diwahyukan Allah.

2. Orang Kristen Memikul Salibnya terhadap Kebudayaan yang Melawan Kristus

* Tetap setia terhadap kebenaran mutlak yang dinyatakan dalam Alkitab sekalipun harus dibayar dengan pertentangan dan kesulitan
* Bersedia melayani dengan menghadapi tantangan dari dua kelompok manusia yang mengandalkan kebudayaan dalam hidup di dunia ini:
- kelompok agama dalam menjalani hidup di dunia ini berusaha untuk mendapatkan keselamatan dan pengampunan Allah melalui kehidupan keagamaan, amal, intelektual, dan kesalehan mereka.
- kelompok duniawi yang cenderung memuaskan keinginan diri tanpa mempedulikan kebenaran Allah. Mewujudkan hidup yang mengejar kepuasan dan kenikmatan jasmaniah.
* Memberitakan Injil Kristus yang menyatakan kesia-siaan hidup keagamaan, amal, dan kesalehan manusia. Menyatakan hukuman Allah atas kehidupan manusia yang berdosa dan menolak pengampunan ALlah dalam
Yesus Kristus. Memperkenalkan identitas manusia baru dalam karya penebusan Yesus Kristus.

3, Orang Kristen Mengikut Tuhan Yesus di Tengah Arus Kebudayaan

* Meneladani kehidupan Kristus semasa kehadiranNya secara jasmaniah di dalam dunia. Menyatakan kehidupan baru yang memuliakan Allah sehingga dunia akan mengenal kita sebagai pengikut Kristus
* Membaharui kehidupan masyarakat dan kebudayaan melalui profesi kita dan karunia yang Allah percayakan kepada kita, dengan berprinsip pada Fil 2:5.
* Membaharui kebudayaan yang memisahkan dan menjauhkan manusia dari sesamanya.
* Membaharui kebudayaan yang memperlakukan manusia secara tidak manusiawi.
* Membaharui kebudayaan yang bersifat materialistis dan merendahkan martabat manusia.
* Membaharui kebudayaan yang berpusat pada kenikmatan hawa nafsu diri dan bersifat egosentris.
 
 
 http://uhumlaoshi.blogspot.com/2013/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://suwele-piliyam.blogspot.com/2010/09/kekristenan-dan-kebudayaan-dalam.html

 



kebudayaan suku bali

Suku Bali

Suku Bali (bahasa Bali: Anak Bali, Wong Bali, atau Krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu, kurang lebih 90%, sedangkan sisanya beragama Islam, Kristen dan Buddha. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia. Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali. Orang Bali juga banyak terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya. Sebagian kecil orang Bali juga ada yang tinggal di Malaysia.

Asal-usul

Asal-usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi: gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama zaman prasejarah; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara; gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15—seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.

Kebudayaan

Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—lepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan aktor berbakat. Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang. Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak. Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.
Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya.Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.
Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, namun dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.

 Pakaian adat Bali
           Bali memiliki banyak macan atau varian dari pakaian adatnya. Untuk perempuan yang masih remaja menggunakan sanggul gonjer, sedangkan perempuan atau wanita dewasa menggunakan sanggul tagel, kemudian menggunakan sesentang atau kemben songket, Kain wastra, Sabuk prada (stagen) untuk membelit pinggul dan dada, Selendang songket bahu ke bawah, Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam, Beragam ornamen perhiasan, Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap. Untuk pria menggunakan ikat kepala atau udeg lalu menggunakan selendang pengikat atau umpal, kain kampuh, kain wastra, keris, sabuk, kemeja atau jas, serta ornament yang digunakan untuk menghiasi penampilan sang pria 

Rumah adat Bali
            Rumah adat Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak sebuah bangunan yang hampir mirip dengan ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China. Rumah adat Bali harus memenuhi aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan (lokasi / lingkungan) dan yang terahir parahyangan. 
            Pada umumnya rumah Bali di penuhi dengan pernak-pernik hiasan, ukiran serta warna yang alami lalu patung-patung symbol ritual. Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil - kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan pada bangunan dimana bangunannya  tidak lagi terpisah-pisah. 

Tari Bali
Bali memiliki berbagai macam jenis tarian daerah yang berasal dari daerah ini diantaranya : 
    Tari Pendet 
Tari Pendet ini ditarikan sebagai tari selamat datang untuk menyambut kedatangan para tamu dan undangan dengan menaburkan bunga, dan ekspresi penarinya penuh dengan senyuman manis. Pada awalnya tarian ini digunakan pada acara ibadah di pura sebagai bentuk penyambutan terhadap dewa yang turun ke dunia. 
     Tari Panji Semirang
Tarian ini di mainkan oleh perempuan. Tari Panji Semirang adalah tarian yang menggambarkan seorang putri raja bernama Galuh Candrakirana, yang menyamar menjadi seorang laki-laki setelah kehilangan suaminya. Dalam pengembaraannya ia mengganti namanya menjadi Raden Panji. 
    Tari Condong
Tarian ini merupakan tarian yang cukup sulit untuk diragakan dan tarian ini memiliki durasi panjang. Tarian ini adalah darian klasik Bali yang memiliki gerakan yang sangat kompleks dan menggambarkan seorang abdi Raja 
    Tari Kecak
Tarian ini merupakan tarian yang sangat terkenal dari daerah Bali. Tarian ini dimainkan oleh puluhan laki-laki yang duduk bari melingkar. Tarian ini menggambarkan kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat. 
Alat Musik Daerah
    Bali memiliki alat musik tradisional yang khas dari daerah ini, alat musik ini merupakan alat musik peninggalan turun menurun leluhur mereka, dan berikut beberapa alat musik tradisional Bali : 
   Gamelan Bali 
Sama seperti daerah lain di Indonesia yang memiliki alat musik gmelan, Bali pun memiliki alat musik gamelan. Namun gamelan Bali ini memiliki perbedaan dengan gamelan daerah lain salah satunya yaitu ritme yang dimainkan pada gamelan Bali berjenis ritme yang cepat. 
Rindik
     Rindik merupakan alat musik khas Bali yang terbuat dari bambu yang bernada selendro. Alat musik ini dimainkan oleh 2 sampai 4 orang, 2 orang menabuh rindik sisanya meniup seruling. Alat musik ini digunakan untuk pementasan tarian jogged bumbung dan untuk acara pernikahan. 
Adat Kebudayaan Bali
      Masyarakat Bali terdiri dari masyarakat yang beraga Hindu namun semua itu tidak berpengaruh terhadap masyarakat lain yang tinggal di Bali namun tidak memeluk agama Hindu. Berikut beberapa upacara yang biasa di lakukan oleh masyarakat bali : 
 Pernikahan 
Untuk acara pernikahan ada beberapa upacara adat yang harus dilewati diantaranya : 
Upacara ngekeb : Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik 
Mungkah Lawang (Buka Pintu) : Adat ini adalah adat mengetuk pintu pengantin wanita sebanyak tiga kali, sebagai bentuk bahwa pengantin pria telah datang untuk menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu 
Madengen dengan : Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian 
Mewidhi Widana : Acara ini merupakan acara penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara sebelumnya. Lalu keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. 
Mejauman Ngabe Tipat Bantal : Setelah beberapa hari menikah, baru upacara ini dilaksanakan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya 
Upacara Potong gigi 
Upacara potong gigi ini wajib dilakukan oleh laki-laki dan wanita yang beranjak dewasa yang di tandai datangnya menstruasi untuk wanita dan membesarnya suara untuk laki-laki. Potong gigi bukan berarti gigi dipotong hingga habis, melainkan hanya merapikan atau mengikir enam gigi pada rahang atas, yaitu empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan yang dipercaya untuk menghilangkan enam sifat buruk yang melekat pada diri seseorang, yaitu kama (hawa nafsu), loba (tamak), krodha (amarah), mada (mabuk), moha (bingung), dan matsarya (iri hati atau dengki).  
Upacara Kematian
    Masyarakat Bali selalu mengadakan upacara kematian di saat ada seseorang atau kerabat yang meninggal dunia. Upacara kematian ini dikenal dengan nama upacara ngaben. Upacara ini yaitu upacara pembakaran bagi orang yang sudah meninggal. Pada intinya upacara ini untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa selaku Dewa yang dipercaya oleh masyarakat atau umat hindu khususnya masyarakat hindu Bali 
Kerajinan Khas Bali
     Bali memiliki kerajinan tangan yang dibuat oleh masyarakat kerajinan tangan tersebut ada mulai kerajinan tangan membuat tas anyaman, ukiran bali berupa pajangan ataupun untuk pintu, kerajinan tangan yang terbuat dari perak maupun kaca, topeng kayu asal Bali, pernak pernik accessories Bali dan masih banyak lagi.
      Diatas sudah dijelaskan beberapa kesenian dan kebudayaan yang ada di Bali. Sebenarnya maish banyak kesenian dan kebudayaan yang ada di daerah ini. Untuk mengetahui lebih lengakapnya, semua itu bisa di cari dengan cara membrowsernya di media internet yang sudah marak dimana-mana. Bali memiliki sebuatan pulau dewata, dan Bali pun merupakan pulau yang banyak dikunjungi oleh wisatawan manca Negara karena keindahannya. Sebagai mahasiswa dan warga Negara yang baik kita wajib menjaga dan melestarian kesenian yang ada di Indonesia khususnya kesenian yang ada di Bali agar tidak punah di makan oleh jaman dan oleh kemajuan kehidupan yang modern. Karena banyaknya warga asing yang datang ke pulau ini diharapkan kebudayaan asal daerah ini tidak tercampur oleh kebudayaan asing yang modern, karena kebudayaan Bali merupakan kebudayaan dari leluhur yang harus di jaga dan di rawat agar tidak punah.



 

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bali
http://khantydwi.blogspot.com/2013/06/kesenian-dan-kebudayaan-bali.html