Ciri khas bangsa Indonesia salah staunya adalah gotong royong, kita mengetahui bahwa modernisasi dan globalisasi melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks, hal ini seharusnya jangan sampai membuat bangsa Indonesia kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa yang kaya akan unsur budaya. Akan tetapi dengan semakin derasnya arus globalisasi mau tidak mau kepribadian tersebut akan terpengaruh oleh kebudayaan asaing yang lebih mementingkan individualisme.Sesungguhnya budaya gotong-royong merupakan kekuatan besar budaya masyarakat yang perlu dikembangkan terus di negeri ini”.
aum pria sibuk mengaduk semen dan pasir, menyiapkan batu bata, kayu dan paku-paku.Ada juga beberapa pria yang membersihkan lahan. Sebelum dibersihkan, lahan itu diratakan dulu. Kaum wanita, ibu-ibu, menyiapkan makanan, kopi dan teh. Semua sibuk mengambil bagian dalam pekerjaan itu di daerah perbukitan suatu kampung bernama Kampung Bukit, di kawasan Rumbai, tidak jauh jauh dari kota Pekanbaru. Tidak ada orang yang ngobrol atau pun berlagak seperti bos yang pekerjaannya hanya memerintah. Semua orang yang hadir ambil bagian dalam pekerjaan itu. Setiap individu mungkin merasa risih bila tidak turut berpartisipasi. Mereka semua memiliki perasaan ingin melayani, dan ingin meringankan beban sesama warga. Mereka bersama-sama mendirikan rumah bagi seorang warga di desa mereka. Budaya gotong-royong sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kisah itu adalah gambaran kehidupan warga Indonesia puluhan tahun lalu di suatu kawasan bernama Rumbai di pulau Sumatera. Masa kini tersedia beragam wadah organisasi/ lembaga formal unuk kegiatan sosial dan pengembangan masyarakat. Wadah itu dapat dioptimalkan untuk menjalankan dan memperkuat kembali budaya gotong-royong. Ada Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), ada pula Yayasan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Koperasi.
Lembaga yayasan adalah badan hukum yang ditujukan untuk melakukan berbagai kegiatan di bidang kemanusiaan, sosial, budaya, agama dan kemasyarakatan. Dalam lembaga yayasan tercermin keinginan pemerintah untuk memberikan peluang sebesar-besarnya bagi warga berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan kegiatan pelayanan, pendidikan dan pengembangan dalam rangka pembangunan masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.
Bila Anda bersama teman-teman mendirikan yayasan, sebaiknya fokuskan diri pada misi pelayanan, disertai dengan semangat gotong-royong, agar yayasan itu bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan penerapan semangat gotong- royong, Anda sekaligus mendidik warga masyarakat agar menumbuhkan kembali budaya gotong- royong yang sudah mulai terkikis habis oleh perkembangan zaman. Penggunaan yayasan hanya sebagai simbol atau tampilan agar kelihatan menarik di mata masyarakat atau mencari popularitas dengan beragam kegiatan heboh yang menghambur-hamburkan dana yayasan, sangatlah tidak tepat. Yayasan mestinya bukanlah sarana untuk kumpul-kumpul, ngerumpi atau pesta makan bersama. Tetapi, yayasan adalah wadah untuk melayani… wadah untuk berbuat bagi masyarakat. Yang menjadi ukuran dalam pengembangan yayasan adalah seberapa besar perannya dalam melayani, menolong, mendidik dan mengembangkan masyarakat.
Sangat ironis bila sekelompok orang mendirikan yayasan dengan tujuan dan misi mulia, kemudian yayasan menerima sumbangan dalam jumlah besar dari berbagai pihak, tetapi dana yayasan hanya digunakan untuk makan bersama, pesta, tour dan berbagai kegiatan konsumtif lainnya, sedangkan ketika ada warga atau kelompok masyarakat membutuhkan pertolongan, yayasan tidak dapat berbuat apapun karena dana yayasan sudah dihabiskan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan dan misi yayasan. Walaupun suatu yayasan hanya memiliki dana sedikit, tetapi dana itu digunakan dengan optimal untuk kepentingan pelayanan masyarakat, maka yayasan telah berjalan pada jalur yang tepat.
Bagaimanakah sikap kita sebagai anggota pengurus suatu yayasan? Apakah cukup memberi uang untuk yayasan, lalu membiarkan yayasan berjalan begitu saja diurus oleh teman-teman lainnya? Sebagai anggota pengurus suatu yayasan sebaiknya kita menanamkan prinsip melayani, prinsip gotong- royong di dalam diri kita masing-masing. Yayasan dapat diarahkan agar mampu melihat kebutuhan masyarakat dan melayani serta mengembangkan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Kita bisa mengembangkan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih cerdas (smart community).
Budaya gotong- royong tidak berarti harus selalu melakukan hal-hal besar bagi masyarakat. Dengan melakukan kegiatan sederhana pun, seperti membagikan pakaian bekas kepada masyarakat yang membutuhkan, melakukan pembersihan lingkungan, mendorong terciptanya kerjasama antar warga dan menanam pohon, yayasan telah melakukan pelayanan yang baik bagi masyarakat.
Sikap melayani itu tidak hanya kepada masyarakat umum, tetapi juga antar sesama pengurus yayasan. Kita tidak harus menjabat posisi ketua dalam suatu yayasan agar dapat turut melayani, walaupun sebagai anggota pengurus biasa, kita dapat menunjukkan sikap gotonroyong dengan berpartisipasi menyampaikan ide, berkomentar dalam diskusi bersama, menyampaikan kritik bila terjadi penyimpangan dalam kegiatan yayasan, menolong teman yang sedang sibuk dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh yayasan, dan membantu meringankan beban teman yang sedang melakukan hal-hal sederhana lainnya untuk yayasan. Ciptakan dan kembangkanlah budaya gotong- royong dalam organisasi atau yayasan yang sedang Anda bangun bersama teman-teman
Masyarakat Desa Penjaga Terakhir Semangat Gotong Royong Pancasila
Dalam Pidatonya, Ir. Soekarno yang lebih kita kenal dengan panggilan Bung Karno, menyampaikan bahwa dasar Indonesia merdeka adalah (1) kebangsaan, (2) internasionalisme, (3) mufakat, (4) kesejahteraan, dan (5) ketuhanan. Dan lima bilangan tersebut dinamakan Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah Indonesia berdiri menjadi Negara yang kekal dan abadi.
Pancasila adalah Gotong Royong
Bung Karno menyampaikan, lima sila boleh diperas sehingga tinggal 3 saja, yaitu (1) Sosio-nasionalisme, (2) Sosio-demokrasi, dan (3) Ketuhanan. Dan jika diperas yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan, Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”.
Membangun Peradaban Bangsa
Membangun peradaban sebuah bangsa harus dilakukan dengan membangun budi pekerti serta membangkitkan semangat kebersamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh para agamawan dan tokoh-tokoh generasi pendiri NKRI. Menurut Bung Karno, Indonesia bila ingin kembali berjaya seperti Sriwijaya dan Majapahit tidak bisa hanya dilakukan oleh satu golongan saja, tetapi harus dilakukan secara bersama oleh semua komponen bangsa dengan melibatkan masyarakat.
Nilai-nilai dasar Pancasila sangat penting untuk selalu dimaknai kembali, karena generasi di masa mendatang belum tentu bisa menghayati Pancasila sebagai perekat dasar yang mempersatukan Indonesia.
Gotong Royong yang sudah Terpinggirkan
Indonesia merdeka karena adanya semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu. Setelah reformasi semangat tersebut seperti agak ditinggalkan. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partsipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Di beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa. Kehadiran dalam sebuah kebersamaan pun terkadang diwakili dengan uang. Tidak hadir ronda cukup bayar denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup titip uang iuran. Tidak ikut kerja bakti cukup memberi sumbangan.
Program pemerintah dengan bantuan beras miskin (raskin) yang kurang tepat sasaran dan dilaksanakan tanpa sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan telah menjadikan alasan beberapa kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan raskin, sedang mereka merasa miskin, akhirnya tidak mau lagi ikut kerja bakti. ”Mereka yang dapat raskin aja yang suruh kerja bakti,” katanya.
Dalam banyak peristiwa terorisme akhir-akhir ini salah satu penyebab tidak berjalannya pengawasan masyarakat adalah sudah mulai lunturnya semangat gorong royong. Dengan kurangnya semangat gotong royong, maka masyarakat menjadi tidak peka terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Gotong royong adalah pola pertahanan terbaik dalam masyarakat, gotong royong mampu menjadi alat komunikasi yang efektif.
Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat desa. Semoga desa mampu menjadi penjaga pilar kejayaan Pancasila dengan tetep menjaga semangat kegotongroyongan di dalam kehidupan bermasyarakatn
M. Nasroen(1907-1968) Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dalam bukunya Falsafah Indonesia,
mengatakan bahwa gotong royong adalah dasar Falsafah Indonesia. Dengan
kata lain bahwa gotong royonglah yang menjadi ciri utama manusia
Indonesia pada umumnya. Dari ribuan tahun silam Indonesia telah
menciptkan konsep ini. Kita bisa melihat di ritual-ritual keagamaan
disana yang masih Animisme dan Dinamisme. Dalam setiap upacara keagamaan
para masyarakat berbaur menjadi satu untuk bekerjasama membangun suatu
tempat sumber peribadatan, ada juga saat upacara kelahiran dan kematian
yang semua warga berkumpul untuk mengerjakan apa yang perlu mereka
kerjakan tanpa imbalan apapun. Dalam hal indonesia sebagai negara
maritim, kita bisa lihat para warga bekerja sama dalam membangun
kapal-kapal, dan di pikul besama pula dalam melayarkannya kelautan
lepas.
Masuknya Agama Hindu Budha dan Islam, tak serta
merta membuat tradisi ini lenyap begitu saja. Banyak acara-acara
keagamaan yang malah disesuaikan dengan sikap kekeluargaan ini. Misalnya
dalam acara tahlilan dan yasinan-yang merupakan akulturasi-semua warga
berkumpul jadi satu untuk melaksakan ritual doa bersama yang secara
langsung dapat menimbulkan keterikatan batin diantara mereka, hingga
memunculkan sikap “ringan sama jinjing berat sama dipikul”. Masih banyak
contoh-contoh yang harmonis jika kita menghayati betul. Ada acara gugur gunung sampai seperti acara sambatan dalam
masyarakat jawa yang biasanya dalam membangun rumah diundanglah seluruh
warga masyarakat dan mereka saling bahu membahu membangun rumah tanpa
adanya balas budi berupa uang, Contoh real yakni saat dibangunnya Masjid
Agung Demak yang sejarahnya bisa kita baca sendiri. Tradisi-tradisi
semacam ini masih terjaga rapi biasanya di daerah pedesaan.
Maka konsep ini pula yang dipilih oleh para
penggerak bangsa untuk mempersatukan Indonesia merdeka. Salah satunya
Bung Karno presiden pertama Republik Indonesia ini dalam gagasannya
tentang Pancasila terisnspirasi dari konsep gotong-royong. Dalam bagian
lain, menurut Soekarno dapat saja Pancasila itu diperas hingga menjadi
satu dan kemudian dapat dikenal dengan sebutan Gotong Royong. Konsep
gotong-royong ini merupakan konsep dinamis, bahkan lebih dinamis dari
perkataan kekeluargaan. Sebab konsep gotong-royong ini menggambarkan
suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan secara bersama-sama.
Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-biantu bersama. Amal semua buat kepentingan
semua, keringat semua kebahagiaan semua. (Jebarus Felix, tanpa tahun)
Setelah itu banyak pemimpin-pemimpin kita yang
menerapkan konsep kegotong-royongan dalam sistem birokrasi, mulai dari
Presiden Suharto sampai ada kabinet yang dinamkan Gotong Royong yakni
pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Ini membuktikan bahwa
teramat pentingnya konsep kegotong-royongan ini bagi bangsa Indonesia.
Mngingat arus globalisasi yang kian lama kian
merasuk dalam sendi-sendi kebudayaan, maka di butuhkanlah sikap
idealisme dalam bersikap. Idealisme dalam hal ini yakni bersikap tetap
berfikir susuai jati diri bangsa yakni kegotong-royongan, kekeluargaan.
Kita tak bisa menahan arus globalisasi masuk, tapi kita tetap bisa
menyesuaikan modernitas tersebut dengan budaya sendiri. Yang artinya
kita tak boleh larut dalam euforia individualitas yang semakin marak
dewasa ini. Itulah yang para tokoh bangsa ini lakukan dijaman dahulu,
yakni dengan senantiasa berakulturasi bukan berlarut.
Maka dari itu kita disini bukan hanya membicarakan,
mendiskusikan apa itu gotong royong, kekeluargaan yang menjadi sumber
Falsafah Indonesia. Tetapi kita dituntut untuk lebih melestarikan atau
melaksanakan konsep ini dalam tataran hidup bermasyarakat sampai
berbangsa dan bernegara.
salam pertiwi!
salam pertiwi!
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI GOTONG ROYONG UNTUK MEWUJUDKAN BIROKRASI YANG BERLANDASKAN BUDAYA BANGSA
Di dalam KBBI gotong royong diartikan sebagai bekerja bersama. Wikipedia mempertegas definisi gotong royong sebagai istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Saya yakin kita semua pasti sudah pernah mendengar istilah gotong royong melintas di telinga kita. Namun tak bisa dipungkiri bahwa gotong royong akhir-akhir ini mulai terkikis keberadaannya, terlebih lagi memasuki zaman modern dengan teknologi yang serba canggih saat ini. Mungkin ada pihak yang menganggap gotong royong sudah kuno, tidak cocok lagi diterapkan sekarang ini, hanya untuk masyarakat pedesaan, atau bahkan ada yang sekedar tahu namanya saja tanpa paham nilai-nilai dan filosofis yang terkandung dalam gotong royong. Lantas apa kaitan gotong royong dengan birokrasi? Dapatkah keduanya dipadukan??? Melalui tulisan ini Saya mencoba mencurahkan opini Saya mengenai impelentasi gotong royong dalam birokrasi.
Dari beberapa referensi yang sempat Saya baca, gotong royong setidaknya mengandung beberapa nilai positif yang dapat menjadi kata kunci dari istilah gotong royong, antara lain kebersamaan, kekeluargaan, keadilan, sukarela (tanpa pamrih), tanggung jawab, peran aktif masyarakat serta persatuan dan kesatuan. Dengan nilai-nilai yang terkandung tersebut, mestinya budaya gotong royong dapat menjadi “suplemen” sekaligus “obat” untuk berbagai “penyakit” yang melanda bangsa ini, termasuk penyakit yang melanda sistem birokrasi di Indonesia. Gotong royong harus dimaknai secara luas dan mendalam, tidak hanya sebatas gotong royong membuat jembatan, mendirikan mushola, membersihkan saluran air, ataupun kegiatan-kegiatan fisik lainnya. Kita dapat berkaca kepada Jepang yang sudah mengimplementasikan budaya Sogo Fujo ke dalam sistem hukum dan undang-undang pemerintahannya secara ideologis dan dilaksanakan secara sosial. Kemudian setelah menjadi konsepsi hukkum, masuk pula dalam konsepsi manajerial, baik di dalam birokarasi maupun korporasi. Jepang sukses mengimpelentasikan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Sogo Fujo tersebut hingga membentuk sikap dan perilaku masyarakatnya yang patut dijadikan teladan. Istilah Sogo Fujo di Jepang tersebut tidak ubahnya seperti budaya gotong royong di Indonesia. Lantas, mengapa kita tidak mengimplimentasikan nilai-nilai positif dalam gotong royong untuk memperbaiki sistem birokrasi di negeri ini???
Birokrasi dalam pengertian keseharian selalu dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Istilah birokrasi tidak terlepas dari instansi pemerintah sebagai pihak yang memberikan pelayanan publik serta masyrakat yang merupakan pihak yang mendapatkan pelayanan tersebut. Namun, fakta yang terjadi lebih sering kebalikannya. Pejabat dan aparatur negara yang semestinya memberikan layanan justru ingin dilayani dengan alasan posisi mereka yang tinggi yang justru harus diberikan layanan. Hal tersebut merupakan salah satu penyakit kronis birokrasi di Indonesia.
Penyakit birokrasi lainnya yang mewabah di negeri ini adalah faktor hierarki yang disalahgunakan sehingga pejabat atas menjadi penentu keputusan dan kebijakan yang akan diambil. Hal ini berdampak pada pelayanan yang diberikan dinilai lamban dan berbelit-belit oleh masyarakat. Belum lagi persyaratan-persyaratan bahkan “pungutan liar” yang mesti diberikan pada setiap tahapan level hierarki yang semakin menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik.
Gotong royong sebenarnya dapat menjadi obat yang mujarab bagi penyakit birokrasi yang melanda bangsa ini. Obat yang tidak hanya menyembuhkan penyakit luar yang tampak secara kasat mata tetapi penyakit dalam sekalipun. Dalam konteks reformasi birokrasi, konsep ini pun sejalan. Reformasi birokrasi diharapkan tidak hanya sebatas perubahan pada proses dan prosedur birokrasi (penyembuhan penyakit luar birokrasi) saja, tetapi juga perubahan pada sikap dan perilaku para pelaku brirokrasi (penyembuhan penyakit dalam birokrasi). Pada akhirnya reformasi birokrasi diharapkan mampu meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat pun menjadi lebih baik.
Impelementasi nilai-nilai gotong royong dalam mewujudkan sistem birokrasi yang ideal bagi bangsa ini dapat dipadukan dengan konsep manajemen yang mencakup 4 (empat) tahapan manajerial sehingga sistem birokrasi yang akan diwujudkan lebih sistematis. Konsep POAC yang sudah tidak asing lagi dalam manajemen yang akan dipadukan dengan nilai-nilai gotong royong dapat dirinci sebagai berikut :
1) Planning (Perencanaan) Sistem Birokrasi
Perencanaan sistem birokrasi yang akan dilaksanakan merupakan langkah awal yang sangat berpengaruh terhadap tahapan manajerial selanjutnya. Pemerintah dan masyarakat dapat bergotong royong membuat perencanaan sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Nilai kebersamaan, keadilan, dan peran serta aktif dari masyarakat dibutuhkan pada tahapan ini.
Pemerintah (melalui instansi dan aparatur pemerintahan) harus duduk bersama dengan masyarakat yang menunjukkan rasa kebersamaan, meskipun statusnya ada yang menjadi pihak yang memberikan pelayanan dan ada yang menerima pelayanan. Pemerintah dan masyarakat berembuk untuk menyusun konsep dan mekanisme birokrasi yang diinginkan yang memberikan rasa keadilan bagi semua pihak sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Dalam tahapan ini peran serta aktif dari masyarakat sangat dibutuhkan agar pemerintah mendapatkan masukan-masukan yang berguna dalam perencanaan sistem birokrasi. Masyarakat harus jeli dan kritis namun tetap mematuhi norma dan etika yang patut dalam menyampaikan aspirasinya terkait perencanaan sistem birokrasi ini kepada pihak pemerintah.
2) Organizing (Pengorganisasian) Sistem Birokrasi
Nilai sukarela dan dan tanggung jawab yang terkandung dalam budaya gotong royong dapat diperankan dalam tahapan ini. Para pejabat dan aparatur pemerintah yang menempati posisi stragetis (hierarki) dalam pengambilan keputusan dan kebijakan harus menanamkan nilai sukarela dan tanggung jawab dalam hati sanubari mereka.
Sukarela dalam birokrasi dapat diartikan bahwa aparatur pemerintah dalam sistem birokrasi bekerja tanpa pamrih, bersifat netral dan tidak terlibat intrik politik untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Apa yang dilakukan semata-mata sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat guna memberikan pelayanan yang prima. Tanggung jawab akan membuat aparatur pemerintah bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas pelayanannya kepada publik dan menghindarkan diri dari sikap semena-mena terhadap masyarakat.
3) Actuating (Pelaksanaan) Sistem Birokrasi
Tahapan ini merupakan inti dari birokrasi. Pada tahap pelaksanaan ini juga rawan muncul permasalahan dan benturan berbagai kepentingan. Hampir semua nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong dapat diimplementasikan dalam tahapan pelaksanaan sistem birokrasi.
Aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat dilandasi dengan rasa kebersamaan, kekeluargaan, tanpa pamrih dan tanggung jawab. Masyarakat juga harus berperan aktif masyarakat serta berusaha menjaga persatuan dan kesatuan dalam memanfaatkan layanan yang diberikan.
Rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang dimiliki oleh aparatur pemerintah dan masyarakat akan menghilangkan gap yang seringkali terjadi antara para pejabat dan aparatur pemerintah dengan masyarakat. Aparatur pemerintah selayaknya dihormati dan disegani oleh masyarakat tapi bukan ditakuti serta dicacimaki. Rasa hormat dan segan dari masyarakat muncul setelah diberikan layanan yang prima.
Sikap yang dilandasi nilai tanpa pamrih dan tanggung jawab akan membuat segala susuatu yang dikerjakan terasa ringan, tidak bergantung atau berhutang kepada pihak-pihak tertentu dan akan mendapatkan kepuasan tersendiri. Masyarakat sebagai penerima layanan akan dapat membedakan mana aparatur pemerintah yang bersikap tanpa pamrih dan bertanggung jawab serta mana yang bersifat pamrih dan tidak bertanggung jawab.
Semangat gotong royong dalam pelaksanaan sistem birokrasi harus dimilki oleh kedua belah pihak yang terlibat, yakni pemerintah dan masyarakat. Itikad baik dari pemerintah tidak akan terasa manfaatnya tanpa dukungan penuh dari masyarakat. Sebaliknya, keluh kesah masyarakat terhadap pelayanan publik yang diberikan pemerintah tidak akan dapat didengar dan diperbaiki jika pemerintah menutup mata dan telinga serta enggan mengulurkan tangan untuk bekerja bersama masyarakat.
4) Controlling (Pengawasan) Sistem Birokrasi
Pengawasan diperlukan agar diketahui apa saja yang menjadi kekurangan dari sistem yang berjalan. Peran aktif dari masyarakat diperlukan agar didapat hasil pengawasan yang objektif. Rasa persatuan dan kesatuan yang ada dalam setiap pribadi aparatur pemerintah dan masyarakat akan menimbulkan sikap legowo bagi aparatur pemerintah dalam menerima hasil pengawasan dalam sistem birokrasi yang dilakukan oleh masyarakat, terlepas apakah hasil pengawasan tersebut bernilai positif atau negatif. Masyarakat pun akan lebih objektif dalam memberikan hasil pengawasannya, tidak termakan oleh praktik politik praktis, dan menyampaikannya dengan cara yang wajar, santun serta tidak terbawa emosi.
Pengawasan bukanlah berarti saling memata-matai dan mencari kesalahan masing-masing. Justru dengan adanya pengawasan maka akan terbentuk sikap saling mengingatkan saat ada pihak yang melakukan kesalahan dan harus diperbaiki. Hasil pengawasan dalam sistem birokrasi dapat menjadi bahan evaluasi yang dapat digunakan untuk menyusun perencanaan sistem birokrasi selanjutnya yang lebih baik dari sistem birokrasi sebelumnya.
Untuk memfasilitasi fungsi pengawasan sistem birokrasi ini pemerintah dan masyarakat dapat memainkan peran masing-masing. Di setiap instansi pemerintah harus dioptimalkan fungsi pengawasan internal yang ada serta menyediakan layanan pengaduan dari masyarakat terhadap ketidakpuasan atas layanan yang diberikan. Dengan demikian keluh kesah dari masyarakat dapat didengar dan tersampaikan melalui jalur yang tepat. Bagi masyarakat, bentuk peran serta pengawasan sistem birokrasi yang dapat dilakukan berupa memberikan penilaian yang objektif terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Jika fungsi pengawasan sistem birokrasi tersebut terasa berat dilakukan oleh individu masyarakat, maka masyarakat dapat membentuk lembaga independen yang berfungsi melakukan pengawasan sistem birokrasi yang berjalan. Namun dengan catatan pembentukan lembaga independen ini tanpa ada “titipan politik” yang mempunyai tujuan lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong harus tetap menjadi pegangan. Sesama masyarakat bersatu untuk melakukan pengawasan sistem birokrasi, sedangkan masyarakat dan pemerintah bersatu agar dapat saling mengingatkan. Pemerintah bertanggung jawab terhadap amanah yang dititipkan oleh masyarakat dan masyarakat pun harus memberikan dukungan dan kepercayaan kepada aparatur pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Memang tidak mudah untuk melakukan reformasi (perubahan) terhadap sistem birokrasi di Indonesia untuk menjadi lebih baik. Diperlukan usaha yang lebih untuk dapat mengimplementasikan nilai-nilai budaya gotong royong untuk mewujudkan birokrasi yang berlandaskan budaya bangsa di negeri ini. Konsekuensi lainnya adalah harus berani menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan oleh para aparatur pemerintah dalam sistem birokrasi yang sudah “membudaya”. Dalam lingkungan masyarakatpun harus dilakukan perbaikan-perbaikan. Aspirasi masyarakat disampaikan dengan cara yang benar dan melalui jalur yang tepat. Namun dengan semangat kebersamaan, kekeluargaan, keadilan, sukarela (tanpa pamrih), tanggung jawab, peran aktif masyarakat serta persatuan dan kesatuan Insya Allah budaya gotong royong dapat diimplementasikan dalam memperbaiki sistem birokrasi bangsa ini. Mari kita bergotong royong untuk mengimplementasikan nilai-nilai gotong royong untuk mewujudkan birokrasi yang lebih baik di Indonesia !
http://nardi125.wordpress.com/about/budaya-gotong-royong/
http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/09/gotong-royong-ciri-khas-budaya-bangsa-609110.html
https://hasaninurul.wordpress.com/2013/04/13/implementasi-nilai-nilai-gotong-royong-untuk-mewujudkan-birokrasi-yang-berlandaskan-budaya-bangsa/